Hingga kini, ada 2 faktor penting yang mempengaruhi sekolah-sekolah manajemen klasik. Yang pertama adalah Revolusi Industri, sedangkan yang kedua adalah Perang Dunia.

Bersama dengan hadirnya Revolusi Industri awal abad 19, mulailah timbul permasalahan-permasalahan dalam bidang yang sekarang disebut sebagai "manajemen". Kala itu, struktur maupun hirarki tugas serta tanggung jawab tidak terspesialisasi seperti sekarang. Lambat laun menimbulkan berbagai persoalan dan konflik dalam pabrik-pabrik yang ada.

Datangnya perang dunia dan berbagai peperangan yang mengawalinya, justru membawa solusi atas persoalan tersebut. Seperti yang kita ketahui, dalam setiap perang, selalu ada Jenderal. Orang yang mengontrol dan memberikan berbagai perintah. Jenderal-jenderal ini memiliki para "manajer" yang bertugas menjalankan perintah sekaligus memberi laporan kepadanya. Para Manajer, juga memiliki asisten-asisten yang bertugas memberikan laporan dan membantu pekerjaan mereka. Begitu seterusnya, hingga seluruh konfigurasi tersebut menjadi struktur manajemen piramida yang kita kenal sekarang.

Kala itu, segala sesuatunya masih cukup sederhana. Industri manufaktur baru saja menjadi buah bibir pembicaraan dimana-mana, proses penjualan belum menjadi sebuah proses yang kompleks. Bahkan, apple dan blackberry masih merupakan nama buah. Sedangkan gingerbread dan ice cream masih menjadi cemilan, bukan nama sistem operasi komputer.

Namun, secara bertahap, perubahan pun terjadi. Dimulai dari lingkungan keluarga, dimana kini kontrol orang tua tak lagi seketat di masa silam. Membuat teman dan komunitas jauh lebih berpengaruh ketimbang orang tua sendiri. Kelompok, jauh lebih berarti daripada individu.

Perubahan-perubahan seperti itu, ternyata sangat berpengaruh pada lingkungan tempat kerja. Lihatlah bagaimana kinerja tim lebih diutamakan ketimbang kinerja individu. Hampir tak lagi ditemui individu-individu superior dengan kinerja paling menonjol. Berbagai inovasi muncul dari proses brainstroming secara berkelompok, bukan lagi dari ide-ide perorangan.

Kini, tak lagi ditemui kata "saya" dalam kerja organisasi. Semuanya mengatakan "kita". Fokus kerja dewasa ini telah bergeser menjadi keberhasilan kolaboratif, bukan lagi kejayaan individu / personal. Akan tetapi, perubahan pada budaya kerja ini tak di ikuti oleh perubahan pada struktur manajemen maupun metode kepemimpinannya.

Struktur manajemen piramida, seperti yang kita kenal sekarang, masih tetap tak berubah. Masih "kaku", dan bersifat "top-down" hampir pada semua lini. Padahal, fleksibilitas sudah menjadi kunci dalam persaingan di abad 21. Demikian juga dengan sistem perintah "top-down", nantinya perlu direvisi. Dibuat lebih "demokratis". Kontrol dan kewenangan organisasi harus mulai di desentralisasi dan di transfer secara lebih merata hingga ke front line bisnis kita.

Sebagian kecil dari organisasi multi nasional di Indonesia sudah mulai menerapkan hal ini. Walaupun masih secara parsial. Namun, sebagian besar justru tetap terlena pada "best practices" yang bernama manajemen piramida ini.

Mungkin, diperlukan tsunami perubahan untuk membuat mereka sadar, bahwa kinilah saat paling tepat untuk berubah. Sekaranglah waktu yang paling cocok untuk merekonstruksi manajemen piramida. Mumpung gelombang masih jinak, dan tsunami belum menghantam.

 

Panji R.

Managing Director

Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.