Tiga tahun yang lalu, jelang siang saat seorang kawan lama tiba-tiba menelpon dan mengajak bertemu. Dari nada bicaranya, jelas dia sedang butuh bantuan. Mungkin sebuah nasehat, mungkin juga utangan.

 

Kawan saya ini seorang kontraktor, masih kecil usahanya (waktu itu). Dia tipikal orang yang gak tegaan sama orang. Termasuk dengan karyawannya sendiri.

 

Singkat cerita, kami berjanji bertemu saat makan siang di sebuah cafe (baca: warung kopi) dekat kantor. Tak seperti biasa lazimnya orang bertemu yang diawali dengan basa-basi tanya kabar, hari itu dia mendadak langsung bertanya:

 

“Karyawanku mencuri... Laporin gak ya?”

 

“Berapa?” tanyaku

 

“Nam ribu.” Jawabnya.

 

Saya paham yang dia maksud adalah enam juta rupiah. Sebagian orang di Surabaya (dan juga jawa timur) memang terbiasa menghilangkan tiga angka nol dalam percakapan sehari-hari.

 

“Ooo.. Trus ngapain cari aku” tanyaku.

 

“Aku bingung, enaknya tak laporin ato gak. Soal duitnya sih, aku gak masalah. Cuman kan kamu pernah bilang kalo kita musti tegas.”

 

“Lha, udah tau gitu.. Apa yang bikin ente bingung?”

 

“Gini, karyawanku itu nyuri karena ibunya sakit. Lagi diopname.. Lha kalo tak laporin, trus ibunya denger dan malah bikin parah penyakitnya gimana? Kalo dia dipenjara, nasib anak istrinya gimana? Aku kan gak enak..”

 

“Selain ente, sapa lagi yang tahu kalo dia nyuri?”

 

“Gak ada. Cuman saya yang tahu.”

 

“Ada bukti kalo dia nyuri.”

 

“Ada! Gak mungkin lah saya ngomong gini kalo gak ada buktinya.”

 

“Emang kinerja dia selama ini gimana?”

 

“Selain kasus ini, dia gak pernah punya masalah. Kerjanya cukup bagus, lumayan lah. Ya cuman kasus ini aja sih yang bikin dia jelek.”

 

“Hmm.. Kalo gitu, kemungkinan dia nyuri karena betul-betul kepepet dong?”

 

“Kayaknya sih gitu”

 

“Ya udah, ente laporin aja dia.”

 

Kawan saya melongo. Sedetik, dua detik, hingga kemudian dia ngomong lagi “Cek tegone awakmu.. (tega sekali kamu..)”

 

“Sabar napa.. Maksud saya tuh laporin dia ke Ibunya. Bukan lapor ke Polisi.”

 

“Maksudnya gimana? Malah bingung aku.” kata kawan saya sambil menggaruk kepala yang nampaknya tak gatal.

 

“Jadi gini, ente kunjungi Ibunya di rumah sakit. Kenalin diri ente, kalo ente itu boss si anak. Minta ijin ngobrol berdua saja dengan sang Ibu. Pastikan juga karyawan ente itu lagi di kantor, jadi dia gak tau kalo ente datang jenguk Ibunya.”

 

“Trus?”

 

“Ente ngomong gini ke Ibunya: Bu, Anak Ibu sangat berbakti. Dia sangat mencintai Ibu. Dia bahkan rela melakukan apapun untuk kesembuhan Ibu. Ibu pasti sangat bangga kepadanya. Namun sayang, dia mengambil yang bukan haknya demi kesembuhan Ibu. Ibu tenang saja, saya tidak akan melaporkan hal ini pada polisi. Saya tidak akan memecat anak Ibu. Tapi mohon beritahu anak Ibu, jangan mengulanginya lagi. Kalau lain kali membutuhkan bantuan, langsung saja bicara kepada saya. Tak perlu sungkan, pasti saya bantu. Saya harap Ibu tetap bangga memiliki anak yang sangat mencintai Ibu.”

 

Hening. Kawan saya terdiam. Sedetik, dua detik, hingga akhirnya dia berdiri sambil berkata: “Aku pamit dulu.”

 

“Lho, kemana?” tanyaku

 

“Rumah sakit.”

 

--==@==--

 

Waktu berlalu dan saya pun melupakan kisah itu. Tapi tidak dengan kawan saya. Kemarin dia bercerita, bahwa karyawan yang dulu mencuri itu, kini menjadi orang yang paling setia dan paling rajin. Nampaknya, keuletannya bekerja terdongkrak berkali-kali lipat sejak kejadian itu.

 

“Kemarin, saya angkat dia jadi wakil direktur.” Ucap kawan saya singkat, menutup pembicaraan kami.

 

Panji R.

Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.