Adopsi Googley? Lihat dulu sifat pekerjaannya...
Pernah ada sebuah perusahaan manufaktur yang coba menerapkan Googley. Sebut saja perusahaan ini dengan PT X. Mereka merubah suasana kerja menjadi mirip Googleplex. Suasana yang fun, lepas, dan bebas. Suasana Googley! Namun, alih-alih meningkatkan produktifitas karyawan. Hal ini malah membuat produktifitas menurun dan target meleset.
Kenapa kok bisa gagal? Apakah Googley tidak bisa diadopsi oleh perusahaan lain? Masa sih Googleplex yang mirip amusement park tak bisa diadopsi di Indonesia? Apa yang salah?
Tak bisa di pungkiri, bahwa etos kerja dan budaya menjadi faktor penyumbang gagalnya penerapan Googley di PT X. Mengenai etos dan budaya kerja, tentu tak perlu dijelaskan panjang lebar. Bila anda orang Indonesia, pastilah sudah biasa mendengar serta melihat “loyo”-nya etos dan budaya kerja kita. Walaupun ada sebagian kecil yang beretos kerja tinggi, namun secara umum... Tahu sendiri lah...
Jika Anda adalah pimpinan atau owner sebuah perusahaan, tetap tak perlu berkecil hati dengan kondisi ini. Tenang saja, etos dan budaya kerja (secara personal) masih bisa disaring saat recruitment lalu di-upgrade secara rutin dan berkala di tempat kerja. Apalagi bila dipadukan dengan lingkungan maupun rekan kerja yang juga ber-etos tinggi. Bisa dipastikan, etos dan budaya kerja secara kumulatif akan terdongkrak naik. Info lebih detail mengenai hal ini, silahkan kunjungi HR Consultant terdekat di kota Anda.
Ada satu faktor lagi yang seringkali luput dari perhatian. Satu hal ini hampir mustahil untuk diubah, disaring, atau pun di-upgrade oleh HR Consultant manapun. Karena hal ini sudah fitrah-nya manusia. Dengan kata lain, manusia dibuat dengan “anomali” semacam ini. Justru faktor inilah yang menjadi penyumbang terbesar gagalnya penerapan Googley.
Faktor tersebut adalah “sifat pekerjaan”. Secara sederhananya, sifat pekerjaan adalah penggunaan cognitive skill dan mechanical skill dalam menyelesaikan suatu tugas. Untuk mudahnya, cognitive skill kita sebut saja kemampuan berpikir kompleks yang melibatkan konseptual, serta kreatifitas. Sedangkan mechanical skill adalah kemampuan fisik atau otot.
Contoh dari cognitive skill antara lain bisa ditemukan dalam permainan catur, puzzle, dsb. Sedangkan mechanical skill contohnya adalah permainan dart, gundu (kelereng), dsb. Jadi, mechanical skill bukan hanya berarti menguras fisik hingga berkeringat. Tapi lebih pada keahlian “mengendalikan” fisik kita.
Saya yakin Anda sudah tahu mengenai hal ini. Kalau ternyata baru tahu, ya nggak apa-apa...
Kenapa dalam kasus ini saya menyebut sifat pekerjaan sebagai suatu anomali? Tak lain karena hubungan antara penerapan Googley dengan tingkat dan intensitas penggunaan cognitive serta mechanical skill sesseorang. Ini tentang keanehan, bahwa skill tertentu justru tidak memerlukan sesuatu yang “fun” macam Googley.
Jadi, bagaimanakah hubungan mereka? Skill mana yang tidak memerlukan “fun” a la Googley?
Mmmm... Kita bahas minggu depan ya, selamat menebak...
Panji R.
Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.