Edwin namanya. Pertengahan 40-an, sedikit botak, badan subur dan senyum yang selalu mengembang. Boss alias direktur pabrik furniture skala menengah di seputaran Surabaya. Kami tak saling kenal sebelumnya. Kami bertemu karena dikenalkan oleh seorang kawan saat nongkrong di sebuah cafe. Seperti sebuah perkenalan pada lazimnya, kami berbasa-basi dan saling bertanya hal remeh temeh.
Mengetahui bahwa saya seorang konsultan manajemen, dia pun menceritakan tentang manajemen perusahaannya. Bagaimana dia tiap hari selalu membuat keputusan-keputusan penting. Tentang bagaimana usahanya bisa terus bertumbuh, bahkan tanpa pernah memanggil seorang konsultan sekali pun. “No offense lho Mas..” katanya.
“Tim manajemen kami itu bagus sekali, sangat solid dan disiplin” sambungnya lagi. Tulus sekali dia memuji kinerja karyawannya. Saya suka tipikal Boss semacam ini.
“Wah enak dong, bisa sering ngafe kita Pak..” celetuk saya sekenanya.
“He.. he.. he..” dia terkekeh. “Janjian dulu aja kalo mau ngopi-ngopi lagi. Saya jarang punya waktu luang.” jawabnya. “Maklumlah, usaha kan makin gede. Gak bisa ditinggal.” ungkapnya lagi.
“Lho kok gak bisa ditinggal? Katanya manajemen udah solid?” pancing saya.
“Lha kalau saya gak ada, yang ngambil keputusan siapa?” jawab Pak Edwin seraya meraih secangkir espresso, reguk sedikit, lalu dia nyalakan rokoknya. Hening.
Kutunggu rokoknya menyala sempurna, lalu kusambung pertanyaanku tadi. “Emang keputusan seperti apa yang Pak Edwin ambil tiap hari? Misal ada mesin yang trouble parah, apa operator bisa langsung menghentikan produksi?”
“Ya ndak lah.. Operator lapor dulu ke manajer, baru kemudian manajernya lapor ke saya. Trus saya putuskan. Kalo perlu, saya juga turun langsung di lapangan, liat problemnya langsung. Jadi, keputusan saya sesuai dengan problemnya.” tukasnya sambil mengerutkan kening. Agaknya dia gak menyangka ada seseorang yang berprofesi konsultan manajemen, lalu bertanya pertanyaan mendasar semacam itu.
“Oh.. jadi manajer gak punya wewenang dong?” balas saya, lagak tak hirau dengan perubahan mimik Pak Edwin.
“Nggak lah.. menghentikan produksi itu kan hal yang krusial” jawabnya cepat.
“Apa manajer Bapak juga tidak memberikan opsi solusi Pak? Maksud saya gini, manajer bapak cuman datang ke Bapak, trus ngomong kalo mesin lagi trouble?” cecar saya.
“Iya, kurang lebih seperti itu. Dia kan gak punya wewenang.” jawabnya membela manajemen.
“Wah, pantesan aja Pak Edwin sibuk. Lha wong manajernya cuman jadi problem messenger.” sahut saya.
“Maksudnya?” tanya Pak Edwin dengan mimik serius. Kali ini dia nampak penasaran dengan jawaban saya. Gesture tubuhnya perlahan condong ke depan, tak lagi terlihat santai seperti tadi.
Cepat saya menyahut “Problem messenger adalah orang yang kerjanya hanya menyampaikan persoalan atau masalah pada atasannya. Seperti kurir atau tukang pos lah, tapi dia kerjanya cuman ngabarin masalah.” jawab saya sambil meraih secangkir cappucino. Minum seteguk, lalu melanjutkan “Sedangkan problem solver adalah orang yang mampu memberikan solusi atas persoalan yang terjadi. Terlepas apakah dia punya wewenang atau tidak.”
“Jadi, ada atau tidak ada wewenang, harusnya setiap bawahan tidak boleh hanya jadi problem messenger bagi atasannya. Mereka harus jadi problem solver. Berdayakan mereka Pak. Itu bagus bukan hanya bagi perusahaan dan Pak Edwin, tapi juga sangat berguna bagi karir mereka nanti.” sambung saya.
“Saya yakin, sangat-sangat yakin, bahwa manajer atau bahkan operator di pabrik Pak Edwin mengetahui dengan baik persoalan yang timbul. Dan, umumnya mereka juga tahu solusinya. Cuman, karena tidak punya wewenang, mereka cenderung melemparkan persoalan tersebut mentah-mentah ke atasannya. Biar sang atasan yang menyelesaikannya. Mereka menganggap tak ada gunanya memberi solusi untuk persoalan di luar jangkauan wewenangnya.” pungkas saya sambil mengisi tembakau pada bowl cangklong kesayangan. “Pemikiran seperti itu jamak terjadi kok Pak. Bahkan, Bapak pun melihatnya sebagai sesuatu yang normal.” lanjut saya.
Sebagai penutup, saya tambahkan "Kalau terus-terusan seperti itu, maka waktu dan pikiran Pak Edwin banyak tersita sehingga gak cukup waktu tersedia untuk memikirkan hal-hal yang lebih strategis bagi usaha Bapak."
“Trus, saya harus bagaimana biar para problem messenger menjadi problem solver?” tanya Pak Edwin langsung ke pokok persoalan.
“Emm.. ada tiga langkah. Pertama, Pak Edwin jelaskan ke semua karyawan Bapak, bahwa setiap orang berhak dan wajib memberi solusi atas persoalan yang dihadapi. Kalau mereka punya wewenang, maka wajibkan mereka untuk segera memutuskan lalu action. Bertindak! Tak perlu menunggu restu dari Bapak.” jawab saya sambil menghisap pipa cangklong.
“Lalu yang kedua, jika karyawan tidak memiliki wewenang memutuskan, maka Bapak wajibkan untuk menyiapkan minimal tiga pilihan solusi. Mereka juga harus punya satu pilihan utama dari ketiga solusi tersebut. Jadi, nanti para atasan hanya perlu memilih dan memutuskan. Dengan begitu, waktu yang Pak Edwin perlukan untuk memutuskan suatu persoalan jadi lebih singkat.”
“Kemudian yang ketiga, jika pilihan solusi yang ada tidak memuaskan, barulah diskusikan persoalan tersebut antara atasan dan bawahan. Jangan memikirkan solusinya sendiri, ajak juga bawahan untuk mengetahui alur pikiran Anda Pak. Dan ketahui juga alur pemikiran mereka. Sangat banyak sekali manfaat dari mengetahui alur pemikiran karyawan kita.” tegas saya lagi.
“Bapak terapkan dulu deh 3 langkah itu. Biar nanti kita lebih sering ngafe dan ngopi bareng. Hehehe..“ kata saya sambil beranjak dari sofa lalu pamit ke kamar kecil. Meninggalkan Pak Edwin dan seorang kawan yang masih duduk dan termanggut-manggut.
Belum genap sepuluh langkah, sayup terdengar sang kawan berkata “Tuh kan Pak, gak rugi ngopi bareng dia. Dapat konsultasi gratis kan..?”
Panji R.
Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Note: Bila ada kesamaan nama maupun kemiripan situasi, maka itu hanyalah sebuah kebetulan belaka.